
Menjelang kejatuhan Soeharto, telah terjadi aksi mahasiswa besar-besaran hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan tuntutan perubahan akan pemerintahan yang demokratis serta reformasi total. Demonstrasi mahasiswa itu ditangani dengan pola-pola represif, melalui pembubaran aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, penembakan di luar proses hukum, maupun tindakan penganiayaan lainnya. Tragedi terbesar terjadi pada 12 Mei 1998, dimana aparat melakukan penembakan terhadap 4 orang mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan Sie. Sementara korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Esoknya terjadi kerusuhan massal yang meluluhlantakkan sendi kehidupan rakyat Indonesia, khususnya Jakarta. Buntutnya Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Rakyat Indonesia yang hidup dalam rejim orde baru yang otoritarian telah mencatat berbagai peritiwa kekerasan dan telah mengorbankan masyarakat Indonesia. Orde baru dengan berbagai dalih tentang kesatuan, stabilitas serta pembangunan bangsa melakukan kekerasan terhadap masyarakatnya sendiri dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaanya. Pemerintah yang berkuasa menggunakan kekuatan dari aparat negara sebagai alat yang ampuh dalam melakukan penekanan terhadap masyarakat. Pelanggaran terhadap hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjadi hal yang ‘legal’ dalam Rejim Orde Baru. Walaupun, sebagaian kelompok masyarakat berupaya untuk menyuarakan tentang pentingnya perlindungan, penegakan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) usaha tersebut terus dihambat oleh rejim yang berkuasa. Pergantian kekuasaan dari rejim otoritarian ke rejim demokrasi pada tahun 1998 telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menopang usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Melihat latar belakang permasalahan diatas penulis mengangkat rumusan masalah yaitu Analisis Yuridis-Normatif Mekanisme Penyelesaian Kejahatan HAM Masa Lalu Kasus Trisakti, Semanggi I dan II (Analisis UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia).
Isu tentang HAM di Indonesia, sebenarnya bukan “barang” yang baru, karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam alenia 1 pembukaan UUD 1945, yang isinya menyatakan : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu … dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. Dengan adanya penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat disebut negara yang berdasarkan atas hukum. Rasionya, bahwa dalam negara hukum harus ada elemen sebagai berikut : (1) Asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) Asas legalitas, (3) Asas pembagian kekuasaan, (4) Asas Peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan (5) Asas Kedaulatan Rakyat. Seiring dengan tumbangnya rezim orde baru menuju orde reformasi yang lebih menitikberatkan pada perlindungan hukum dan penegakan HAM, rakyat melalui MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dengan memasukan pasal khusus yang mengatur tentang HAM, yakni pasal 28 UUD 1945. Di samping itu, guna melaksanakan ketentuan dalam pasal di atas Pemerintah juga telah mengundangkan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di dalam UU tentang HAM tersebut, job diskripsi dari Komnas HAM (Keppres No. 50 Tahun 1993) juga mengalami perubahan meliputi : (1) Fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang HAM (Pasal 76 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999, (2) tugas penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat (pasal 18 Ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000). Perubahan dari Komnas HAM diharapkan dapat merealisasikan tugas Komnas HAM sebenarnya.
Di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM seperti UU Pengadilan HAM terdapat salah satu ketentuan yang memberikan peluang dibukannya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Peradilan HAM yang diatur dalam pasal 43-44 tentang peradilan HAM ad hoc dan Pasal 46 tentang tidak berlakukannya ketentuan kadaluwarsa dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dimasukanya ketentuan-ketentuan tesebut diatas maksudnya agar kasus-kasus terjadi sebelum diundangkannya UU pengadilan HAM dapat diadili. Ketentuan tidak dikenalnya ketentuan kadaluwarsa dalam UU Pengadilan HAM diadopsi dari Statuta Roma Tahun 1998, yaitu ketentuan dalam artikel 29 tentang ”Tidak adanya ditetapkan ketentuan pembatas”. Ada dua alasan dimasukannya asas retroaktif (berlaku surut) kedalam UU Pengadilan HAM, yakni : (1) jauh sebelumnya diundangkan UU No. 26 Tahun 2000, belum dikenal jenis kejahatan “genocide” dan “Crime againts Humanity” / Kejahatan terhadap Kemanusiaan; (2) asas retroaktif dalam UU Pengadilan HAM merupakan political wisdom (kebijakan politik) dari DPR untuk merekomendasikan kepada Presiden dengan pertimbangan bahwa kedua jenis kejahatan tersebut merupakan extraordinary crimes (kejahatan luar biasa) yang dikutuk secara Internasional sebagai enemies of all man-kids (hotis humani generis) dan dirumuskan sebagai kejahatan internasional (International crimes). Walaupun asas retroaktif sebagai “celah” dibuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat, akan tetapi tetap diperlukan adanya “filter” yang dapat menyaring kasus-kasus pelanggaran HAM berat dimasa lampau melalau kebijakan politik dari DPR sebagai wakil rakyat. Dengan kata lain dalam penyelesaiaan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dimasa lampau, yang memerlukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc tersebut terdapat subjektivitas dalam relativitas dan tergantung pada kepentingan yang ada serta lebih tertumpu pada nilai politis yang tersembunyi.
Terkait dengan itu yang mana hasil dari penyidikan dari Komnas HAM bahwa terjadinya pelanggaran HAM berat berukur pada UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 8 bahwa kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I dan II merupakan kasus pelanggaran HAM berat karena merupakan kejahatan terhadap manusia yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, salah satunya pembunuhan (huruf a) (TNI menembak mahasiswa secara berutal (Membabi-buta) yang mengakibatkan terbunuhnya 4 mahasiswa, dengan ketentuan pidana (pasal 37) “setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan podana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan apling singkat 10 tahun”. Ironisnya hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM yang dilaporkan ke DPR yang mempunyai otoritas menyaring apakan kasus tersebut termasuk pelanggaran HAM berat, dengan membentuk panitia khusus menyelidiki kasus tersebut dan mendapatkan hasil yang mencengangkan yang mengatakan bahwa kasus trisakti, Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Dan hasil dari penyelidikan tersebut direkomendasikan ke kejaksaan agung yang mempunyai otoriter dalam melakukan penuntutan dalam menindaklanjuti kasus tersebut. Akan tetapi Kejaksaan agung samapai sekarang tidak menindaklanjuti kasus tersebut dikarena adanya rekomendasi dari DPR tersebut. Dalam pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang mana menjelaskan bahwa pelanggaran HAM berat hanya dapat diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan HAM ad hoc yang mana pengadilan ad hoc dibentuk atas usulan DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden, sehingga sampai sekarang kasus tersebut tidak terselesaikan.
Melihat dari permasalahan diatas bahwa mekanisme penyelesaian kejahatan HAM masa lalu sesuai dengan hukum formil yang ada memang tidak mudah karena adanya ketidaksepahaman mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II yantg mana antara lembaga DPR yang memiliki otoritas untuk menyaring apakah kejadian tersebut merupakan kejahatan HAM berat, Kejagung yang memiliki otoriras untuk menuntu akan tetapi menunggu rekomendasi dari DPR, berbeda pemahaman dengan Komnas HAM yang melakukan pemuntusan perkara dala pengadilan HAM ad hoc yang hanya dapat berjalan apabila mendapatkan “restu” dari DPR, sehingga solusi alternatif penyelesaian kasus diatas adalah meninjau kembali dan mendalami perkara kasus Trisakti, Semanggi I dan II sehingga antara DPR-Kejagung-Komnas HAM dapat 1 pemahaman karena hanya itulah yang dapat dilakukan dalam mengatasi kasus-kasus Kejahatan HAM Masa Lalu dan melakukan “Judicial Review” merupakan wewenang dari Mahkamah Konstitusi pada pada pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yaitu dengan menghilangkan kata “dugaan” pada pasal tersebut sehingga DPR harus mengikuti apa yang menjadi hasil dari penyelidikan Komnas HAM sehingga proses p-enyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan yang ada unsur-unsur politik yang dimainkan.
Daftar Pustaka
Buku-buku :
Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat). Bandung : PT. Refika Aditama.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komnas HAM.
Oleh :
Ryan Hidayat
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Muhammdiyah Malang