Sabtu, 03 Mei 2008

Hukuman Mati Vs Hak Hidup

Terkait dengan permasalah hukuman mati yang sampai saat ini menjadi pro dan kontra di dalam masyarakat dan pakar-pakar hukum di Indonesia yang mana disatu sisi lain setuju dengan adanya hukuman mati terkait dengan kasus-kasus tertentu seperti pelanggaran hukum berat, terorisme, dan narkotika, akan tetapi di sisi lain banyak yang beranggapan bahwa hukuman mati bertentangan dengan prinsif Hak untuk hidup (rights to life) yang diatur dalam UUD RI 1945 Pasal 28A menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan UU RI No. 39 Tahun 1999 Pasal 9, serta perinsip-prinsip konvensi Internasional salah satunya Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civiland Political Rights- ICCPR Pasal 6 (1) menyatakan bahwa “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”. Dan juga kita mengetahui bahwa sistem hukum pidana kita adalah warisan dari kolonial Belanda sehingga penerapan hukuman mati di Indonesia adalah warisan ketentuan hukum pada kekuasaan kolonial Belanda, akan tetapi Belanda sendiri akhirnya menghapuskan ancaman hukuman mati untuk seluruh kejahatan setelah dilakukan amandemen terhadap UUD-nya pada 17 Februari 1983 di mana secara tegas dinyatakan bahwa hukuman mati (oleh hakim) tidak lagi dapat dijatuhkan. Konsekuensinya adalah menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bawahnya termasuk penghapusan ancaman hukuman mati dalam hukum pidana militer. Sehingga apabila hukum pidana kita berasal dari Belanda yang mana Belanda telah mengahapuskan Hukuman mati Indonesia sebagai bekas jajahannya seharusnya mengikuti jejak langkah Belanda.
Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa Fungsi dari hukum pidana itu sendiri adalah memberikan sebuah pertobatan (efek jera) bagi pelakunya. Kita menyadari bahwa kehidupan atas kesadaran hukum di dalam masyarakat masih saat lemah jadi masih banyaknya pelanggaran dan kejahatan yang menjadi bumbu-bumbu pahit di negeri ini. Maka dengan itu dengan adanya ancaman hukuman mati bagi pelanggarnya terkait dengan kasus-kasus tertentu menjadi suatu Gambaran pedih apabila dimelakukan suatu tindak kejahatan. Saya setuju dengan Indonesia masih memberlakukan hukuman mati karena pada dasarnya dengan adanya pidana hukuman mati pada kasus tertentu seperti kasus narkotika, pelanggaran HAM berat, terorisme dan kasus lainnya yang sebenarnya menjadi kasus paling banyak dfi Indonesia sehingga dengan adanya pidana hukuman mati dapat meminimalisir maraknya kasus-kasus tersebut di Indonesia.


Pelaku Usaha dan Konsumen dalam Perjanjian Baku

Dalam suatu jual-beli barang atau pelayanan jasa sering kita menemukan suatu aturan sepihak yang dibuat oleh pelaku usaha yang mana sering merugikan konsumen. Didalam suatu kegiatan ekonomi atau perdagangan antara pelaku usaha dan konsumen ada yang dikenal dengan Klausula Baku (Ketentuan Umum Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1999) yaitu setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang tertuang dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Perjanjian yang dibuat pelaku usaha yang memuat syarat-syarat baku disebut dengan Perjanjian Baku.
Secara yuridis perjanjian baku ini tidak mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata yang mana memberikan penjelasan bahwa syarat salah satu perjanjian adalah kesepakan harus disepakati kedua belah pihak, dan ditambah 3 syarat lainnya dalam pasal tersebut, akan tetapi perjanjian ini dapat diterima dan dibenarkan karena dibutuhkan masyarakat. Masyarakat modem yang pragmatis yang mana memandang perjanjian baku sebagai jalan keluar dari sistem perdagangan yang murah dan cepat. Mereka akan lebih bisa menerima keberadaan perjanjian tersebut dan tidak menganggap perjanjian tersebut rnerupakan suatu yang merugikan kepentingan mereka.
Dilihat Aspek perlindungan konsumen terkait usaha yang dilakukan untuk melindungi konsumen dari kerugian yang diderita akibat pemakaian barang dan jasa, termasuk pencantuman klausula baku. Aspek perlindungan konsumen itu biasanya menyangkut hal-hal yang sensitif dan rawan apabila terjadi secara masal. Dalam praktek sehari-hari, banyak terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan para konsumen seperti barang yang cacat, jasa yang tidak dilaksanakan semestinya seperti keterlambatan, pembatalan dan penundaan. Sementara ganti kerugian atas
hal-hal tersebut sama sekali tidak ada.
Sejalan dengan semakin berkembangnya perjanjian baku maka berkembang pula kebutuhan masyarakat akan adanya hukum di bidang perlindungan konsumen. Kita telah memiliki UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun undang-undang yang telah berlaku sejak 3 tahun lalu itu sama sekali belum menunjukkan keefektifannya. Hal ini menjadi pertanda bahwa hukum yang ternyata hanya bagus dalam segi formalnya saja, tetapi implementasiannya tidaklah dapat diharapkan. Masyarakat masih belum banyak memahami keberadaan undang-undang ini sehingga mereka masih saja seperti dulu, tidak mau mempersulit diri untuk melakukan konflik secara terbuka kepada pengusaha atau produsen atau pelaku usaha. Salah satu akibatnya adalah karena mekanisme penyelesaian sengketa masih hares melalui pengadilan yang selama ini dikenal tidak adil. Ironisnya, masyarakat lebih memilih diam dan menganggap rusaknya suatu barang, kadaluarsa suatu produk atau keterlambatan jasa pelayanan merupakan hal biasa di dunia bisnis dan perdagangan. Tidak ada upaya mereka untuk mengadu atau menuntut ganti kerugian atas hal-hal tersebut.
Dicantumkannya pengaturan klausula baku dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk melindungi dan memberikan keseimbangan dalam hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha. Pengaturannya meliputi aspek substansi dan aspek fisik. Secara subtansi dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

  1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
  2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
  3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
  4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
  5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
  6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
  7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
  8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Secara fisik dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Selanjutnya Pasal 18 ayat ( 3) dan ayat (4) menyatakan bahwa setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.

Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Yang Berimbas Pada Naiknya Harga Barang Kebutuhan Pokok Dilihat Dari Perspektif Cita Hukum Bangsa

Promblematika-problematika selalu bermunculan di negeri ini akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang seakan tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi bagi masyarakat. Belum tuntas permasalahan demi permasalahan terkait dengan maraknya kasus korupsi oleh para birokrat negeri ini, ditambah lagi, dengan naiknya harga barang kebutuhan pokok sehingga banyak rakyat yang dirugikan. Tak bisa dipungkiri jutaan rakyat Indonesia berada dalam ekonomi lemah, sehingga segala kebijakan-kebijakan para penguasa selalu berimbas pada mereka.
Ironis memang ketika para kaum pemimpin negeri ini menyerukan “sejahterakan rakyat dengan berantas korupsi”, tapi faktanya kasus demi kasus korupsi semakin marak, apakah pertanda bahwa negeri ini akan hancur? Dimana cita hukum (rechtside) yang kita impikan yang mana termaktub pada pokok pikiran pembukaan UUD RI 1945 Alenia ke-4 yaitu Melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Mengilhami makna yang terkandung dalam pembukaan UUD RI 1945, seharusnya para pemimpin negeri ini berbenah diri supaya segala kebijakan-kebijakan pemerintah terkait segala penuntasan masalah yang ada di dalam masyarakat. Gambar di atas memperlihatkan kekecewaan para intelektual negeri ini terhadapa kebijakan SBY-JK menaikan harga kebutuhan pokok yaitu dengan membagikan beras geratis kepada 1.500 warga miskin, itu menunjukan bahwa SBY-JK dianggap telah gagal mewujudkan cita hukum bangsa salah satunya mensejahterakan bangsa. Idealnya sebuah negara harus mempunyai masyarakat yang sejahtera jauh dari kekurangan dan kemiskinan, akan tetapi tak bisa kita pungkiri bahwa negara ini masuk kategori negara miskin. Perekonomian yang tidak merata itu menjadi salah satu faktor utama pendorong bertambahnya jumlah orang miskin di negeri ini. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perekonomian nasional, contoh konversi minyak tanah ke Gas yang mana melihat dari kondisi ekonomi dan kebiasaan di masyarakat sehingga kebijakan itu tidak sepenuhnya efektif itu dapat dilihat dari masih banyak masyarakat yang menggunakan minyak tanah, ditambah dengan susahnya menemukan minyak tanah itu sendiri. Kemudiaan naiknya harga bahan kebutuhan pokok. Pertanyaannya sekarang apa yang sebenarnya politik yang dimainkan pemimpin negeri ini.

Analisis Yuridis-Normatif Mekanisme Penyelesaian Kejahatan Masa Lalu Kasus Trisakti, Semanggi I dan II



Menjelang kejatuhan Soeharto, telah terjadi aksi mahasiswa besar-besaran hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan tuntutan perubahan akan pemerintahan yang demokratis serta reformasi total. Demonstrasi mahasiswa itu ditangani dengan pola-pola represif, melalui pembubaran aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, penembakan di luar proses hukum, maupun tindakan penganiayaan lainnya. Tragedi terbesar terjadi pada 12 Mei 1998, dimana aparat melakukan penembakan terhadap 4 orang mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan Sie. Sementara korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Esoknya terjadi kerusuhan massal yang meluluhlantakkan sendi kehidupan rakyat Indonesia, khususnya Jakarta. Buntutnya Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Rakyat Indonesia yang hidup dalam rejim orde baru yang otoritarian telah mencatat berbagai peritiwa kekerasan dan telah mengorbankan masyarakat Indonesia. Orde baru dengan berbagai dalih tentang kesatuan, stabilitas serta pembangunan bangsa melakukan kekerasan terhadap masyarakatnya sendiri dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaanya. Pemerintah yang berkuasa menggunakan kekuatan dari aparat negara sebagai alat yang ampuh dalam melakukan penekanan terhadap masyarakat. Pelanggaran terhadap hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjadi hal yang ‘legal’ dalam Rejim Orde Baru. Walaupun, sebagaian kelompok masyarakat berupaya untuk menyuarakan tentang pentingnya perlindungan, penegakan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) usaha tersebut terus dihambat oleh rejim yang berkuasa. Pergantian kekuasaan dari rejim otoritarian ke rejim demokrasi pada tahun 1998 telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menopang usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Melihat latar belakang permasalahan diatas penulis mengangkat rumusan masalah yaitu Analisis Yuridis-Normatif Mekanisme Penyelesaian Kejahatan HAM Masa Lalu Kasus Trisakti, Semanggi I dan II (Analisis UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia).
Isu tentang HAM di Indonesia, sebenarnya bukan “barang” yang baru, karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam alenia 1 pembukaan UUD 1945, yang isinya menyatakan : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu … dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. Dengan adanya penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat disebut negara yang berdasarkan atas hukum. Rasionya, bahwa dalam negara hukum harus ada elemen sebagai berikut : (1) Asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) Asas legalitas, (3) Asas pembagian kekuasaan, (4) Asas Peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan (5) Asas Kedaulatan Rakyat. Seiring dengan tumbangnya rezim orde baru menuju orde reformasi yang lebih menitikberatkan pada perlindungan hukum dan penegakan HAM, rakyat melalui MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dengan memasukan pasal khusus yang mengatur tentang HAM, yakni pasal 28 UUD 1945. Di samping itu, guna melaksanakan ketentuan dalam pasal di atas Pemerintah juga telah mengundangkan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di dalam UU tentang HAM tersebut, job diskripsi dari Komnas HAM (Keppres No. 50 Tahun 1993) juga mengalami perubahan meliputi : (1) Fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang HAM (Pasal 76 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999, (2) tugas penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat (pasal 18 Ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000). Perubahan dari Komnas HAM diharapkan dapat merealisasikan tugas Komnas HAM sebenarnya.
Di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM seperti UU Pengadilan HAM terdapat salah satu ketentuan yang memberikan peluang dibukannya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Peradilan HAM yang diatur dalam pasal 43-44 tentang peradilan HAM ad hoc dan Pasal 46 tentang tidak berlakukannya ketentuan kadaluwarsa dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dimasukanya ketentuan-ketentuan tesebut diatas maksudnya agar kasus-kasus terjadi sebelum diundangkannya UU pengadilan HAM dapat diadili. Ketentuan tidak dikenalnya ketentuan kadaluwarsa dalam UU Pengadilan HAM diadopsi dari Statuta Roma Tahun 1998, yaitu ketentuan dalam artikel 29 tentang ”Tidak adanya ditetapkan ketentuan pembatas”. Ada dua alasan dimasukannya asas retroaktif (berlaku surut) kedalam UU Pengadilan HAM, yakni : (1) jauh sebelumnya diundangkan UU No. 26 Tahun 2000, belum dikenal jenis kejahatan “genocide” dan “Crime againts Humanity” / Kejahatan terhadap Kemanusiaan; (2) asas retroaktif dalam UU Pengadilan HAM merupakan political wisdom (kebijakan politik) dari DPR untuk merekomendasikan kepada Presiden dengan pertimbangan bahwa kedua jenis kejahatan tersebut merupakan extraordinary crimes (kejahatan luar biasa) yang dikutuk secara Internasional sebagai enemies of all man-kids (hotis humani generis) dan dirumuskan sebagai kejahatan internasional (International crimes). Walaupun asas retroaktif sebagai “celah” dibuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat, akan tetapi tetap diperlukan adanya “filter” yang dapat menyaring kasus-kasus pelanggaran HAM berat dimasa lampau melalau kebijakan politik dari DPR sebagai wakil rakyat. Dengan kata lain dalam penyelesaiaan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dimasa lampau, yang memerlukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc tersebut terdapat subjektivitas dalam relativitas dan tergantung pada kepentingan yang ada serta lebih tertumpu pada nilai politis yang tersembunyi.
Terkait dengan itu yang mana hasil dari penyidikan dari Komnas HAM bahwa terjadinya pelanggaran HAM berat berukur pada UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 8 bahwa kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I dan II merupakan kasus pelanggaran HAM berat karena merupakan kejahatan terhadap manusia yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, salah satunya pembunuhan (huruf a) (TNI menembak mahasiswa secara berutal (Membabi-buta) yang mengakibatkan terbunuhnya 4 mahasiswa, dengan ketentuan pidana (pasal 37) “setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan podana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan apling singkat 10 tahun”. Ironisnya hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM yang dilaporkan ke DPR yang mempunyai otoritas menyaring apakan kasus tersebut termasuk pelanggaran HAM berat, dengan membentuk panitia khusus menyelidiki kasus tersebut dan mendapatkan hasil yang mencengangkan yang mengatakan bahwa kasus trisakti, Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Dan hasil dari penyelidikan tersebut direkomendasikan ke kejaksaan agung yang mempunyai otoriter dalam melakukan penuntutan dalam menindaklanjuti kasus tersebut. Akan tetapi Kejaksaan agung samapai sekarang tidak menindaklanjuti kasus tersebut dikarena adanya rekomendasi dari DPR tersebut. Dalam pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang mana menjelaskan bahwa pelanggaran HAM berat hanya dapat diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan HAM ad hoc yang mana pengadilan ad hoc dibentuk atas usulan DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden, sehingga sampai sekarang kasus tersebut tidak terselesaikan.
Melihat dari permasalahan diatas bahwa mekanisme penyelesaian kejahatan HAM masa lalu sesuai dengan hukum formil yang ada memang tidak mudah karena adanya ketidaksepahaman mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II yantg mana antara lembaga DPR yang memiliki otoritas untuk menyaring apakah kejadian tersebut merupakan kejahatan HAM berat, Kejagung yang memiliki otoriras untuk menuntu akan tetapi menunggu rekomendasi dari DPR, berbeda pemahaman dengan Komnas HAM yang melakukan pemuntusan perkara dala pengadilan HAM ad hoc yang hanya dapat berjalan apabila mendapatkan “restu” dari DPR, sehingga solusi alternatif penyelesaian kasus diatas adalah meninjau kembali dan mendalami perkara kasus Trisakti, Semanggi I dan II sehingga antara DPR-Kejagung-Komnas HAM dapat 1 pemahaman karena hanya itulah yang dapat dilakukan dalam mengatasi kasus-kasus Kejahatan HAM Masa Lalu dan melakukan “Judicial Review” merupakan wewenang dari Mahkamah Konstitusi pada pada pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yaitu dengan menghilangkan kata “dugaan” pada pasal tersebut sehingga DPR harus mengikuti apa yang menjadi hasil dari penyelidikan Komnas HAM sehingga proses p-enyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan yang ada unsur-unsur politik yang dimainkan.

Daftar Pustaka
Buku-buku :
Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat). Bandung : PT. Refika Aditama.

Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komnas HAM.

Internet :
http://www.sekitarkita.com/. Artikel dari Edisi Kejahatan Masa Lalu.
http://www.indopubs.com/. Soal Pelanggaran HAM Masa Lalu.
http://www.google.com/. Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.

Oleh :
Ryan Hidayat
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Muhammdiyah Malang

Kamis, 03 Januari 2008

Hukum Dan Keadilan Masyarakat

Hukum merupakan instrumen negara yang paling penting. Negara tanpa hukum bagaikan "Bumi Tanpa Matahari". Keberadaan hukum di bangsa ini sudah semakin tenggelam dari rasa keadilan masyarakat. Bagaimana tidak produk hukum itu sendiri diciptakan bukan sebagai pelindung masyarakat akan tetapi sebagai perisai ampuh para penguasa untuk terhindar dari hukum itu sendiri dan seakan-akan hukum sebagai permainan semata.
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Donald Black yaitu “Apabila orang telah memiliki uang, politik, dan jabatan maka akan lebih mudah mempermainkan hukum". Sehingga tidak salah dapat menimbulkan asumsi-asumsi dalam masyarakat bahwa hukum itu seperti lahan permainan para “aktornya” (seperti sepenggal lirik lagu “dunia ini panggung sandiwara”).
Parameter keberhasilan law enforcement bangsa ini dilihat dari bagaimana hukum itu sendiri ditegakan oleh para penegak hukum. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Lawrence Meir Friendman tentang (Three Element of Legal System) yaitu Subtansial, Struktur, dan kultur hukum. Yang mana ketiganya merupakan satu kesatuan dalam menciptakan suasana hukum yang kondusif.
Ingat!!!!Kita sebagai generasi penerus bangsa harus bisa membenahi negeri ini dari keterpurukan hukum akibat ketidakadilan dalam masyarakat. Hukum dan Keadilan merupakan unsur yang fundamental kemajuan hukum bangsa ini.
Ryan Hidayat
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
Asal Sampit (Kalimantan Tengah)