Sabtu, 03 Mei 2008

Pelaku Usaha dan Konsumen dalam Perjanjian Baku

Dalam suatu jual-beli barang atau pelayanan jasa sering kita menemukan suatu aturan sepihak yang dibuat oleh pelaku usaha yang mana sering merugikan konsumen. Didalam suatu kegiatan ekonomi atau perdagangan antara pelaku usaha dan konsumen ada yang dikenal dengan Klausula Baku (Ketentuan Umum Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1999) yaitu setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang tertuang dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Perjanjian yang dibuat pelaku usaha yang memuat syarat-syarat baku disebut dengan Perjanjian Baku.
Secara yuridis perjanjian baku ini tidak mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata yang mana memberikan penjelasan bahwa syarat salah satu perjanjian adalah kesepakan harus disepakati kedua belah pihak, dan ditambah 3 syarat lainnya dalam pasal tersebut, akan tetapi perjanjian ini dapat diterima dan dibenarkan karena dibutuhkan masyarakat. Masyarakat modem yang pragmatis yang mana memandang perjanjian baku sebagai jalan keluar dari sistem perdagangan yang murah dan cepat. Mereka akan lebih bisa menerima keberadaan perjanjian tersebut dan tidak menganggap perjanjian tersebut rnerupakan suatu yang merugikan kepentingan mereka.
Dilihat Aspek perlindungan konsumen terkait usaha yang dilakukan untuk melindungi konsumen dari kerugian yang diderita akibat pemakaian barang dan jasa, termasuk pencantuman klausula baku. Aspek perlindungan konsumen itu biasanya menyangkut hal-hal yang sensitif dan rawan apabila terjadi secara masal. Dalam praktek sehari-hari, banyak terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan para konsumen seperti barang yang cacat, jasa yang tidak dilaksanakan semestinya seperti keterlambatan, pembatalan dan penundaan. Sementara ganti kerugian atas
hal-hal tersebut sama sekali tidak ada.
Sejalan dengan semakin berkembangnya perjanjian baku maka berkembang pula kebutuhan masyarakat akan adanya hukum di bidang perlindungan konsumen. Kita telah memiliki UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun undang-undang yang telah berlaku sejak 3 tahun lalu itu sama sekali belum menunjukkan keefektifannya. Hal ini menjadi pertanda bahwa hukum yang ternyata hanya bagus dalam segi formalnya saja, tetapi implementasiannya tidaklah dapat diharapkan. Masyarakat masih belum banyak memahami keberadaan undang-undang ini sehingga mereka masih saja seperti dulu, tidak mau mempersulit diri untuk melakukan konflik secara terbuka kepada pengusaha atau produsen atau pelaku usaha. Salah satu akibatnya adalah karena mekanisme penyelesaian sengketa masih hares melalui pengadilan yang selama ini dikenal tidak adil. Ironisnya, masyarakat lebih memilih diam dan menganggap rusaknya suatu barang, kadaluarsa suatu produk atau keterlambatan jasa pelayanan merupakan hal biasa di dunia bisnis dan perdagangan. Tidak ada upaya mereka untuk mengadu atau menuntut ganti kerugian atas hal-hal tersebut.
Dicantumkannya pengaturan klausula baku dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk melindungi dan memberikan keseimbangan dalam hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha. Pengaturannya meliputi aspek substansi dan aspek fisik. Secara subtansi dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

  1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
  2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
  3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
  4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
  5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
  6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
  7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
  8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Secara fisik dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Selanjutnya Pasal 18 ayat ( 3) dan ayat (4) menyatakan bahwa setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.

Tidak ada komentar: